Kamis, 22 Agustus 2013

SANGIRAN LABORATORIUM MANUSIA

SANGIRAN LABORATORIUM MANUSIA
Situs Kepurbakalaan Sangiran adalah situs arkeologi di Jawa, Indonesia. Tempat ini merupakan lokasi penemuan beberapa fosil manusia purba, sehingga sangat penting dalam sejarah perkembangan manusia dunia.
Area ini memiliki luas kurang lebih 48 km² dan sebagian besar berada dalam wilayah administrasi Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, 17 kilometer sebelah utara Kota Surakarta, di lembah Bengawan Solo dan di kaki Gunung Lawu. Ada sebagian yang merupakan bagian dari Kabupaten Karanganyar (Kecamatan Gondangrejo).
Pada tahun 1977 Sangiran ditetapkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia sebagai cagar budaya dan ada tahun 1996 situs ini terdaftar dalam Situs Warisan Dunia UNESCO.
SEJARAH EKSPLOTASI
Eugene Dubois pernah melakukan penelitian di sini pada akhir abad ke-19.
Sejak tahun 1934, ahli antropologi Gustav Heinrich Ralph von Koenigswald memulai penelitian di area tersebut, setelah mencermati laporan-laporan berbagai penemuan balung buta ("tulang buta/raksasa") oleh warga dan diperdagangkan. Saat itu perdagangan fosil mulai ramai akibat penemuan tengkorak dan tulang paha Pithecanthropus erectus ("Manusia Jawa") oleh Eugene Dubois di Trinil, Ngawi, tahun 1891. Trinil sendiri juga terletak di lembah Bengawan Solo, kira-kira 40 km timur Sangiran.
Dengan dibantu oleh Toto Marsono, pemuda yang kelak menjadi lurah Desa Krikilan, setiap hari von Koenigswald meminta penduduk untuk mencari balung buta, yang kemudian ia bayar. Pada tahun-tahun berikutnya, hasil penggalian menemukan berbagai fosil Homo erectus lainnya. Ada sekitar 60 lebih fosil H. erectus atau hominid lainnya dengan variasi yang besar, termasuk seriMeganthropus palaeojavanicus, telah ditemukan di situs tersebut dan kawasan sekitarnya.
Selain manusia purba, ditemukan pula berbagai fosil tulang-belulang hewan-hewan bertulang belakang (Vertebrata), seperti buaya (kelompok gavial dan Crocodilus), Hippopotamus (kuda nil), berbagai rusa, harimau purba, dan gajah purba (stegodon dan gajah moderen).
Penggalian oleh tim von Koenigswald berakhir 1941. Koleksi-koleksinya sebagian disimpan di bangunan yang didirikannya bersama Toto Marsono di Sangiran, yang kelak menjadi Museum Purbakala Sangiran, tetapi koleksi-koleksi pentingnya dikirim ke kawannya di Jerman, Franz Weidenreich.
Di sana pun dibuat sebuah museum sangiran di  Museum Purbakala Sangiran, yang terletak di wilayah ini juga, dipaparkan sejarah manusia purba sejak sekitar dua juta tahun yang lalu hingga 200.000 tahun yang lalu, yaitu dari kala Pliosen akhir hingga akhir Pleistosen tengah. Di museum ini terdapat 13.086 koleksi fosil manusia purba dan merupakan situs manusia purba berdiri tegak (hominid) yang terlengkap di Asia. Selain itu juga dapat dipamerkan fosil berbagai hewan bertulang belakang, fosil binatang air, batuan, fosil tumbuhan laut, serta alat-alat batu.
Geologi kawasan
Pada awalnya penelitian Sangiran adalah sebuah kubah yang dinamakan Kubah Sangiran. Puncak kubah ini kemudian terbuka melalui proses erosi sehingga membentuk depresi. Pada depresi itulah dapat ditemukan lapisan tanah yang mengandung informasi tentang kehidupan pada masa lampau. Sangiran mencakup beberapa lapisan tanah/formasi tanah. Yang tertua adalah formasi "kalibeng" formasi ini diperkirakan berumur 3 juta - 1,8 juta tahun yang lalu. Pada formasi ini terdiri atas 4 lapisan yaitu lapisan bawah merupakan endapan laut dalam dengan ketebalan lapisan ini 107 meter

Ini merupakan contoh manusia purba sangiran
Gambar-6.4-Pithecanthropus-Erectus.jpg
 


                                                                                               









                                                                                                                      







Sebelum menemukan fosil tempurung kepala (cranium) dan tulang paha tengah(femur), Dubois memulai pencariannya dengan berlandaskan pada tiga teori. Ketiga dasar teori tersebut selain digunakan sebagai acuan akademik sekaligus untuk meyakinkan pemerintah kolonial Belanda, bahwa pencarian missing link dalam mempelajari evolusi manusia penting bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Ingat! Pada masa itu Indonesia masih berada dalam kekuasaan pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Perhatikanlah tiga landasan teori yang dikemukakan oleh Dubois. Pertama, seperti halnya dengan Darwin, Dubois percaya bahwa evolusi manusia berasal dari daerah tropika. Hal ini berkaitan dengan berkurangnya rambut pada tubuh manusia purba yang hanya dapat ditoleransi di daerah tropika yang hangat. Kedua, Dubois mencatat bahwa dalam dunia binatang, pada umumnya mereka tinggal di daerah geografi yang sama dengan asal nenek moyangnya. Dari segi biologi, binatang yang paling mirip dengan manusia ialah kera besar. Sehingga nenek moyang kera besar diduga mempunyai hubungan kekerabatan (kinship) yang dekat dengan manusia. Charles Darwin dalam bukunya The Descent of Man (1871) mengatakan, manusia lebih dekat dengan kera besar di Afrika seperti gorila dan simpanse. Dalam hal ini Dubois berbeda dengan Darwin, ia percaya bahwa Asia Tenggara merupakan asal-usul manusia karena di sana ada orangutan dan siamang. Menurut Dubois, juga didukung oleh beberapa ahli seperti Wallace dan Lyell, orangutan dan siamang lebih dekat hubungannya dengan manusia dibanding gorila dan simpanse. Alasan ketiga, Dubois mengikuti perkembangan penemuan fosil rahang atas dari sejenis kera seperti manusia yang ditemukan di Bukit Siwalik, India pada tahun 1878. Kalau di India ditemukan fosil semacam itu, maka terbuka kemungkinan penemuan fosil selanjutnya di Jawa.
Berlandaskan ketiga dasar teori tersebut dan setelah mendapat dukungan dari pemerintah Hindia Belanda, maka Dubois memulai usaha pencariannya. Keberhasilan kedua adalah ditemukannya fosil “java man” atau Pithecanthropus Erectus, sekarang lebih dikenal dengan nama Homo Erectus di Trinil (Jawa Timur). Saat ini Homo Erectus dipercaya merupakan salah satu kerabat dekat manusia modern (Homo Sapiens).
Berdasarkan analisis para ahli dari Berkeley dengan menggunakan metode mutakhir argon-40/argon-39 (laser-incremental heating analysis), diduga umur fosil tersebut sekitar 1 juta tahun. Hasil pengukuran yang melibatkan tim peneliti dari Indonesia itu, pernah dipublikasi dalam majalah ilmiah bergengsi Science vol. 263 (1994). Walau begitu, ada juga kegagalan Dubois yang dalam kaitannya dengan perkembangan ilmu pengetahuan menjadi bermakna. Salah satu kelemahan teori Dubois adalah di missing link, yang menyebutkan mata rantai keramanusia telah terjawab dengan ditemukannya “java man”. Pendapat itu keliru karena penemuan-penemuan selanjutnya fosil manusia purba di Sangiran (Jawa Tengah), Mojokerto (Jawa Timur), juga di Cina dan Tanzania ternyata jauh lebih tua sekitar 500.000 sampai 750.000 tahun dibanding temuannya. Selain itu, ada kesalahan teori Dubois mengenai volume otak yang meningkat 2 kali lipat sebanding dengan peningkatan ukuran tubuh. Menurut Dubois volume otak fosil “java man” sekitar 700 cc, kurang lebih setengah dari volume otak manusia modern yang sekitar 1.350 cc. Teori tersebut runtuh karena volume otak “java man” berdasarkan penghitungan yang lebih akurat adalah sekitar 900 cc. Sebagai pembanding pada kera besar yang ada sekarang, simpanse misalnya, volume otaknya sekitar 400 cc. “Java man” terlalu pandai untuk mengisi missing linkkera-manusia, ia lebih tepat disebut manusia purba.