SANGIRAN
LABORATORIUM MANUSIA
Situs Kepurbakalaan Sangiran adalah situs
arkeologi di Jawa, Indonesia.
Tempat ini merupakan lokasi penemuan beberapa fosil manusia purba, sehingga
sangat penting dalam sejarah perkembangan manusia dunia.
Area ini memiliki
luas kurang lebih 48 km² dan sebagian besar berada dalam wilayah administrasi Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, 17 kilometer sebelah utara Kota Surakarta, di lembah Bengawan Solo dan di kaki Gunung Lawu. Ada sebagian yang merupakan
bagian dari Kabupaten
Karanganyar (Kecamatan
Gondangrejo).
Pada tahun 1977 Sangiran ditetapkan oleh Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia
sebagai cagar budaya dan ada tahun 1996 situs ini terdaftar dalam Situs Warisan
Dunia UNESCO.
SEJARAH EKSPLOTASI
Eugene Dubois pernah melakukan penelitian di
sini pada akhir abad ke-19.
Sejak tahun 1934,
ahli antropologi Gustav
Heinrich Ralph von Koenigswald memulai
penelitian di area tersebut, setelah mencermati laporan-laporan berbagai
penemuan balung buta ("tulang buta/raksasa") oleh
warga dan diperdagangkan. Saat itu perdagangan fosil mulai ramai akibat
penemuan tengkorak dan tulang paha Pithecanthropus erectus ("Manusia Jawa") oleh Eugene Dubois di Trinil, Ngawi, tahun 1891. Trinil sendiri juga
terletak di lembah Bengawan Solo, kira-kira 40 km timur Sangiran.
Dengan dibantu oleh Toto Marsono,
pemuda yang kelak menjadi lurah Desa Krikilan, setiap hari von Koenigswald
meminta penduduk untuk mencari balung
buta, yang kemudian ia bayar. Pada tahun-tahun berikutnya, hasil penggalian
menemukan berbagai fosil Homo erectus lainnya. Ada sekitar 60 lebih fosil H. erectus atau hominid lainnya dengan variasi yang besar,
termasuk seriMeganthropus
palaeojavanicus, telah ditemukan di situs tersebut dan kawasan
sekitarnya.
Selain manusia purba,
ditemukan pula berbagai fosil tulang-belulang hewan-hewan bertulang belakang (Vertebrata), seperti buaya (kelompok gavial dan Crocodilus), Hippopotamus (kuda nil), berbagai rusa, harimau purba, dan gajah purba (stegodon dan gajah moderen).
Penggalian oleh tim
von Koenigswald berakhir 1941. Koleksi-koleksinya sebagian disimpan di bangunan
yang didirikannya bersama Toto Marsono di Sangiran, yang kelak menjadi Museum
Purbakala Sangiran, tetapi koleksi-koleksi pentingnya dikirim ke kawannya di
Jerman, Franz
Weidenreich.
Di sana pun dibuat sebuah museum sangiran di Museum Purbakala Sangiran, yang
terletak di wilayah ini juga, dipaparkan sejarah manusia purba sejak sekitar
dua juta tahun yang lalu hingga 200.000 tahun yang lalu, yaitu dari kala
Pliosen akhir hingga akhir Pleistosen tengah. Di museum ini terdapat 13.086
koleksi fosil manusia purba dan merupakan situs manusia purba berdiri tegak
(hominid) yang terlengkap di Asia.
Selain itu juga dapat dipamerkan fosil berbagai hewan bertulang belakang, fosil
binatang air, batuan, fosil tumbuhan laut, serta alat-alat batu.
Geologi kawasan
Pada
awalnya penelitian Sangiran adalah sebuah kubah yang dinamakan Kubah
Sangiran. Puncak kubah ini kemudian terbuka melalui proses erosi sehingga
membentuk depresi. Pada depresi itulah dapat ditemukan lapisan tanah yang
mengandung informasi tentang kehidupan pada masa lampau. Sangiran mencakup
beberapa lapisan tanah/formasi tanah. Yang tertua adalah formasi
"kalibeng" formasi ini diperkirakan berumur 3 juta - 1,8 juta tahun
yang lalu. Pada formasi ini terdiri atas 4 lapisan yaitu lapisan bawah merupakan
endapan laut dalam dengan ketebalan lapisan ini 107 meter
Ini merupakan contoh manusia purba sangiran
Sebelum
menemukan fosil tempurung kepala (cranium) dan tulang paha tengah(femur), Dubois memulai
pencariannya dengan berlandaskan pada tiga teori. Ketiga dasar teori tersebut
selain digunakan sebagai acuan akademik sekaligus untuk meyakinkan pemerintah
kolonial Belanda, bahwa pencarian missing link dalam mempelajari evolusi
manusia penting bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Ingat! Pada masa itu
Indonesia masih berada dalam kekuasaan pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Perhatikanlah
tiga landasan teori yang dikemukakan oleh Dubois. Pertama,
seperti halnya dengan Darwin, Dubois percaya bahwa evolusi manusia berasal dari
daerah tropika. Hal ini berkaitan dengan berkurangnya rambut pada tubuh manusia
purba yang hanya dapat ditoleransi di daerah tropika yang hangat. Kedua,
Dubois mencatat bahwa dalam dunia binatang, pada umumnya mereka tinggal di
daerah geografi yang sama dengan asal nenek moyangnya. Dari segi biologi,
binatang yang paling mirip dengan manusia ialah kera besar. Sehingga nenek
moyang kera besar diduga mempunyai hubungan kekerabatan (kinship) yang dekat dengan manusia.
Charles Darwin dalam bukunya The Descent of Man (1871) mengatakan, manusia
lebih dekat dengan kera besar di Afrika seperti gorila dan simpanse. Dalam hal
ini Dubois berbeda dengan Darwin, ia percaya bahwa Asia Tenggara merupakan
asal-usul manusia karena di sana ada orangutan dan siamang. Menurut Dubois,
juga didukung oleh beberapa ahli seperti Wallace dan Lyell, orangutan dan siamang lebih
dekat hubungannya dengan manusia dibanding gorila dan simpanse. Alasan ketiga,
Dubois mengikuti perkembangan penemuan fosil rahang atas dari sejenis kera
seperti manusia yang ditemukan di Bukit Siwalik, India pada tahun 1878. Kalau
di India ditemukan fosil semacam itu, maka terbuka kemungkinan penemuan fosil
selanjutnya di Jawa.
Berlandaskan
ketiga dasar teori tersebut dan setelah mendapat dukungan dari pemerintah Hindia
Belanda, maka Dubois memulai usaha pencariannya. Keberhasilan kedua adalah
ditemukannya fosil “java man” atau Pithecanthropus Erectus, sekarang lebih dikenal dengan
nama Homo Erectus di Trinil (Jawa Timur). Saat
ini Homo Erectus dipercaya merupakan salah satu
kerabat dekat manusia modern (Homo Sapiens).
Berdasarkan
analisis para ahli dari Berkeley dengan menggunakan metode mutakhir
argon-40/argon-39 (laser-incremental heating analysis),
diduga umur fosil tersebut sekitar 1 juta tahun. Hasil pengukuran yang
melibatkan tim peneliti dari Indonesia itu, pernah dipublikasi dalam majalah
ilmiah bergengsi Science vol. 263 (1994). Walau begitu,
ada juga kegagalan Dubois yang dalam kaitannya dengan perkembangan ilmu
pengetahuan menjadi bermakna. Salah satu kelemahan teori Dubois adalah di missing
link, yang menyebutkan mata rantai keramanusia telah terjawab
dengan ditemukannya “java man”. Pendapat itu keliru karena penemuan-penemuan
selanjutnya fosil manusia purba di Sangiran (Jawa Tengah), Mojokerto (Jawa
Timur), juga di Cina dan Tanzania ternyata jauh lebih tua sekitar 500.000
sampai 750.000 tahun dibanding temuannya. Selain itu, ada kesalahan teori
Dubois mengenai volume otak yang meningkat 2 kali lipat sebanding dengan
peningkatan ukuran tubuh. Menurut Dubois volume otak fosil “java man” sekitar
700 cc, kurang lebih setengah dari volume otak manusia modern yang sekitar
1.350 cc. Teori tersebut runtuh karena volume otak “java man” berdasarkan
penghitungan yang lebih akurat adalah sekitar 900 cc. Sebagai pembanding pada
kera besar yang ada sekarang, simpanse misalnya, volume otaknya sekitar 400 cc.
“Java man” terlalu pandai untuk mengisi missing linkkera-manusia,
ia lebih tepat disebut manusia purba.